Makanan, Restoran, dan Rasa Pulang yang Tak Pernah Hilang



    Ada kalanya makanan bukan sekadar soal rasa, tapi tentang kenangan yang menempel begitu kuat di hati. Setiap suapan bisa jadi pintu masuk menuju masa lalu, menghadirkan kembali orang-orang yang kita cintai, suasana hangat keluarga, bahkan momen-momen kecil yang mungkin dulu terasa biasa, tapi kini justru begitu berharga.
    Bagi saya, misalnya, ayam goreng Pemuda di Surabaya selalu punya tempat istimewa. Bukan karena rasanya yang renyah atau bumbunya yang khas saja, tapi karena setiap kali menyantapnya, saya seperti melihat kembali sosok almarhum Bapak. 
Bapak selalu bilang, "Ayam goreng Pemuda di Surabaya terkenal dengan kulitnya yang renyah keemasan, digoreng garing tapi tetap menyimpan daging yang lembut dan juicy di dalam.
Bumbunya meresap sampai ke serat ayam, menghadirkan perpaduan rasa gurih, sedikit manis, dengan aroma rempah yang khas. Setiap gigitan menghadirkan sensasi kriuk di luar, lalu disusul kelembutan daging yang hangat di lidah—sebuah cita rasa sederhana yang justru sulit dilupakan."

    Beliau begitu suka makan di sana, dan tanpa sadar, setiap potongan ayam itu membawa saya kembali ke momen-momen sederhana bersama beliau—duduk di meja, berbagi cerita, tertawa, lalu pulang dengan hati hangat. Kini, ketika ayam goreng Pemuda tersaji, ada rasa haru yang menyelinap. Mata jadi berkaca-kaca, tapi anehnya hati terasa penuh—seakan Bapak masih duduk bersama.

Lasagna Kesukaan Tommy

Sejak kecil, almarhum Tommy adikku memang punya ketertarikan yang besar pada dunia masak. Dapur baginya bukan sekadar tempat mengolah bahan makanan, tapi ruang bermain sekaligus ruang berekspresi. Aku masih ingat bagaimana matanya berbinar setiap kali mencoba resep baru, mencampur bahan dengan penuh semangat, lalu dengan bangga memperlihatkan hasil kreasinya ke keluarga. 

Masakan Tommy bukan hanya soal rasa, tapi juga caranya menunjukkan kasih—seolah setiap bumbu yang ia racik adalah cara lain untuk berkata “aku sayang kalian.”

Dari sekian banyak makanan yang ia sukai, lasagna selalu punya tempat istimewa di hatinya. Menurut Tommy, layer demi layer lasagna itu seperti perjalanan hidup: ada lapisan yang manis, gurih, lembut, bahkan kadang terasa berat, tapi ketika semuanya berpadu, justru tercipta keindahan. 


Baginya, lasagna adalah simbol kebersamaan—hidangan yang disantap beramai-ramai, dibagi potong demi potong, sambil tertawa dan bercerita. Kini, setiap kali lasagna tersaji di meja, aku merasa Tommy masih ada di sana—menyajikan kehangatan lewat lapisan demi lapisan yang penuh cinta.

Ketika lasagna hadir di meja, rasanya semua orang kembali berkumpul, bercanda, berebut potongan, lalu saling suap dengan penuh kasih. Ada rasa kangen yang dalam, tapi juga sugesti bahagia—seolah mereka yang sudah berpulang hadir kembali lewat aroma dan rasa yang akrab. 

Al fatehah for Bapak and for you, bro!

Laksa Mee Hotel Royal Tawau



Aku tuh ngga terlalu suka mie, apalagi kalau rasa karee. 

Tapi sejak keluarga kami terpaksa tinggal di perbatasan Kaltara (dulu Kaltim) dengan Tawau - sebuah semenanjung di Malaysia tempat berniaga, aku jadi suka sama hidangan yang satu ini : Mie laksa ala resto Hotel Royal di Tawau, Malaysia yang kuahnya encer tapi beraroma kari, dengan cita rasa yang kaya namun ringan di lidah. 

Di dalamnya ada potongan tahu goreng yang dibelah dua, telur rebus setengah matang yang meleleh pelan saat disantap, ditambah udang segar yang gurih, lalu ditutup dengan taburan daun ketumbar yang harum. Setiap kali mengingat laksa ini, saya seolah kembali duduk di meja restoran hotel itu—merasakan kehangatan kuah yang mengepul, bercampur dengan suasana perjalanan, dan momen ketika lidah, hati, dan kenangan berbaur jadi satu.

Makanan memang punya cara ajaib untuk menghubungkan masa kini dengan masa lalu. Restoran yang pernah kita kunjungi bersama orang terkasih bisa menjelma jadi jembatan kenangan. Kadang air mata menetes tanpa bisa ditahan, tapi justru itulah bukti bahwa cinta tak pernah benar-benar hilang.

Mungkin, inilah yang membuat kita selalu ingin kembali—bukan hanya untuk mengulang rasa, tapi untuk merayakan memori. Bahwa melalui makanan, ada “rumah” yang selalu bisa kita datangi kapan saja.

Komentar